Tenaga kerja pertanian mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan pertanian. Pembangunan ketenagakerjaan pertanian untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja pertanian dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya.
Produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian saat ini tergolong rendah. Hal in terefleksikan dari kondisi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) yang disumbangkan 11,14% pada Triwulan II tahun 2015 (data BPS, Distribusi PDB Seri 2010 Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Perburuhan, dan Jasa Pertanian). Sementara, di sektor lain dalam hal penyerapan tenaga kerja tidak sebesar sektor pertanian. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, kompetensi, ketersediaan sarana dan prasarana, akses pasar, dan permodalan. Sampai dengan saat ini perbandingan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor lain, didominasi oleh para petani yang kurang memiliki keahlian (unskilled farmers), sedangkan sektor lain telah memiliki keahlian tertentu.
Periode sepuluh tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya dalam periode 2010 – 2014 rata-rata mencapai 31,78% dari total tenaga kerja (data BPS, Angkatan Kerja per Bulan Februari 2015). Namun demikian dalam lima tahun terakhir terjadi trend penurunan penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian hanya sekitar 35,76%, atau mengalami penurunan sebesar 4,7%. Penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian diiringi dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Meskipun mengalami kenaikan produktivitas, namun dibandingkan dengan sektor lain, produktivitas sektor pertanian relatif masih tertinggal. Berdasarkan laporan dari BPS, subsektor yang paling tinggi produktivitasnya pada tahun 2012 adalah subsektor perikanan dan peternakan, masing-masing mencapai Rp.2,9 juta dan Rp.2,6 juta/tenaga kerja/tahun.
Kebutuhan terhadap tenaga kerja bergantung juga pada ketersediaan dan kondisi tenaga kerja yang ada. Persediaan atau penawaran tenaga kerja dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan jumlah tenaga kerja, sehingga diperlukan perencanaan tenaga kerja yang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kompetensi yang diperlukan.
Keberhasilan pembangunan pertanian khususnya di bidang ketenagakerjaan pertanian salah satunya ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) tenaga kerja pertanian, kelompok umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan jenis kelamin.
1. Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 – 2014 dinyatakan bahwa trend penurunan jumlah tenaga kerja pertanian/petani tingkat Nasional terjadi pada masa 2010 – 2014. Pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja pertanian sebanyak 38.699.043 orang yang terdiri atas laki-laki sebanyak 23.781.233 orang dan perempuan sebanyak 14.917.810 orang. Tahun 2014 menjadi 36.396.184 orang yang terdiri atas laki-laki sebanyak 22.519.115 orang (61,87%) dan perempuan sebanyak 13.877.069 orang (38,13%). Namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada tahun 2011-2012. Jumlah tenaga kerja pertanian semula 36.490.617 orang pada tahun 2011 menjadi 37.120.655 pada tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja pertanian dengan tingkat pertumbuhan 1,73%.
Kontribusi di sektor pertanian pada produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku menurun dari 15,19% menjadi 14,43% (BPS, data periode 2003-2013). Bahkan tahun 2014 menurun secara tidak signifikan sebesar 14,33%. Padahal, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih tinggi, yakni 36,40 juta orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki lebih besar. Pertumbuhan di sektor pertanian masih di bawah sektor lainnya padahal, jumlah tenaga kerja paling banyak ada di sektor pertanian.
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian tercatat menurun dari tahun ke tahun. Penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian disebabkan oleh pergeseran masa panen yang dialami oleh petani. Panen bergeser dari Maret ke Mei, menyebabkan pada saat survei tenaga kerja nampak sedikit.
Tata-rata tingkat pertumbuhan sebesar -1,69%. Berdasarkan jenis kelamin, rata-rata tingkat pertumbuhan tenaga kerja pertanian laki-laki -1,33%, sedangkan yang perempuan -1,69%. Perkembangan tenaga kerja pertanian tingkat nasional bedasarkan jenis kelamin (Agustus 2010 – Agustus 2014) tervisualisasi pada Gambar 1. Terlihat bahwa Jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan 2013. Jumlah tenaga kerja pertanian perempuan hanya mengalami peningkatan pada tahun 2012. Secara umum peningkatan jumlah tenaga kerja hanya terjadi pada tahun 2012 dalam kurun waktu 2010 – 2014.
Fakta dari data tersebut di atas adalah bahwa jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki lebih banyak dari pada tenaga kerja pertanian perempuan. Wanita sebagai tenaga kerja memperoleh lapangan kerja yang terbatas dari pada pria, dan dari segi upah atau gaji yang diterima lebih rendah daripada pria. Dalam hal ini yang ingin diinterpretasikan adalah bahwa dilema wanita pekerja dari tingkat upah yang lebih rendah antara pria dan wanita. Wanita sebagai tenaga kerja ternyata memperoleh lapangan kerja yang lebih terbatas dari pria.
Kondisi tersebut juga menggambarkan bahwa pihak laki-laki cenderung mendominasi pelaksanaan program pembangunan pertanian, sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Walaupun kebijakan pembangunan pertanian bersifat netral, namun dalam implementasinya cenderung bias gender. Hal ini juga disebabkan masih kuatnya pengaruh budaya patriarkhi di kalangan masyarakat petani itu sendiri. Perjalanan sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, sumberdaya manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan dinyatakan sebagai sumberdaya insani pembangunan pertanian. Partisipasi laki-laki dan perempuan sangat diharapkan turut serta mewujudkan kesejahteraan nasional.
2. Tenaga Kerja Berdasarkan Wilayah
Data ketenagakerjaan pertanian (petani) secara Nasional berdasarkan Survai Angkatan Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS), dari tahun 2010 – 2014, bila diperhatikan jumlah tenaga kerja pertanian secara Nasional berdasarkan wilayah, tampak bahwa tenaga kerja yang berada dan bekerja di wilayah Perdesaan lebih banyak jika dibanding dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di wilayah perkotaan.
Pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja sebanyak 38.699.043 orang, yang berada dan bekerja di wilayah perkotaan sebanyak 3.635.547 orang dan di perdesaan sebanyak 35.063.496 orang. Tahun 2014 jumlah tenaga kerja pertanian menurun menjadi 36.396.184 orang yang berada di wilayah perkotaan sebanyak 5.185.862 orang dan di perdesaan sebanyak 31.210.322 orang.
Tenaga kerja pertanian secara nasional cenderung mengalami penurunan rata-rata sebesar -1.49%. Jumlah tenaga kerja di perkotaan mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 10.95% dan tenaga kerja di perdesaan mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata sebesar -2.74%.
Perkembangan tenaga kerja pada tahun 2010 – 2011 terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebesar -5.71%, namun pada tahun 2011 – 2012 terjadi peningkatan sebesar 1.73%. Sedangkan pada tahun 2012 sd 2014 jumlah tenaga kerja mengalami penurunan yaitu -1.10% dan -0.86%.
Dari perkembangan data, jumlah tenaga kerja di perkotaan mengalami peningkatan dan penurunan selama kurun waktu 5 tahun ini dapat disebabkan karena meningkatnya minat tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Sedangkan jumlah tenaga kerja di perdesaan mengalami penurunan, hal ini diasumsikan karena perkembangan teknologi yang memicu tenaga kerja di perdesaan migrasi untuk mengadu nasib di perkotaan
3. Tenaga Kerja Berdasarkan Kelompok Umur
Data ketenagakerjaan pertanian/petani menurut kelompok umur secara Nasional berdasarkan Survai Angkatan Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) dalam kurun waktu tahun 2010 – 2014, bahwa jumlah tenaga kerja pertanian selama periode tersebut mengalami sedikit perubahan. Jumlah tenaga kerja pertanian tahun 2010 sebanyak 23.781.233 orang, dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.629.945 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 25.380.341 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 8.688.757 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 36.396.184 orang dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 3.789.122 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 23.487.918 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 9.119.144 orang. Dalam kurun waktu 2010 – 2014 tenaga kerja pertanian mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata 1,49%. Data jumlah tenaga kerja pertanian secara Nasional dalam kurun waktu 2010 – 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tenaga kerja pertanian (laki-laki + perempuan) semua kelompok umur mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi pada kelompok umur 15 – 24 tahun dengan penurunan rata-rata pertumbuhan 4,77%, diikuti kelompok umur 25-54 tahun sebesar 1,89 dan pada >55 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,34%.
Sebaran tenaga kerja pertanian berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa sebagian besar berada pada kelompok umur 25-54 tahun (65,58%), kemudian kelompok umur > 55 tahun (22,45%) dan kelompok umur 15-24 tahun (11,96%). Menurut Iwan Setiawan (2007), mengatakan bahwa pada masa yang akan datang dikhawatirkan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Tren aging agriculture sudah mulai terlihat pada sektor pertanian yaitu tenaga kerjanya sudah menunjukkan komposisi penduduk usia lanjut yang semakin besar. Kondisi ini sudah banyak terjadi seperti yang dikemukakan oleh Collier (1996) dalam Iwan Setiawan (2007) berdasarkan penelitian di pedesaan Jawa yaitu” Suatu perubahan utama dalam pertanian Jawa berupa kekurangan buruh tani yang lebih besar, bahkan di daerah berpenduduk sangat padat. Kekurangan ini terjadi karena tarikan orang ke pekerjaan lebih menarik di daerah urban dan perasaan orang-orang muda yang berpendidikan menengah yang tidak tertarik bekerja sebagai petani”. Kondisi tersebut sudah terasa pada masa sekarang, dimana untuk mendapatkan tenaga kerja (buruh) di sektor pertanian sudah sulit mendapatkannya.
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin Jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki tahun 2010 sebanyak 23.781.233 orang, dengan rincian kelompok umur 15 – 24 tahun sebanyak 3.216.045 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 14.985.908 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 5.579.280 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 22.519.115 orang dengan rincian kelompok umur 15 – 24 tahun sebanyak 2.664.750 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 13.926.866 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 5.927.499 orang. Dalam kurun waktu 2010-2014 tenaga kerja pertanian (laki-laki) mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata 1,33%.
Tenaga kerja pertanian (laki-laki) semua kelompok umur mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi pada kelompok umur 15 – 24 tahun dengan penurunan rata-rata pertumbuhan 4,50%, diikuti kelompok umur 25-54 tahun sebesar 1,79% dan kelompok >55 tahun mengalami peningkatan rata 0,55% per tahun. Apabila dilihat dari persentase jumlah tenaga kerja umur 15-24 tahun dan umur > 55 tahun semakin berkurang, sedangkan persentase jumlah kelompok umur 25-55 tahun semakin meningkat, tetapi jika dilihat dari jumlahnya kelompok umur ini mengalami penurunan.
Sedangkan jumlah tenaga kerja pertanian (perempuan) tahun 2010 sebanyak 14.917.810 orang, dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 1.413.900 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 10.394.433 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 3.109.477 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 13.877.069 orang dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 1.124.372 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 9.561.052 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 3.191.645 orang. Dalam kurun waktu 2010-2014 tenaga kerja pertanian mengalami penurunan rata-rata 1,69%.
Tenaga kerja pertanian mempunyai peranan dan kedudukan yang sangat penting sebagai pelaku dan tujuan pembangunan pertanian. Pembangunan ketenagakerjaan pertanian untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja pertanian dan peran sertanya dalam pembangunan pertanian serta peningkatan perlindungan tenaga kerja dan keluarganya.
Produktivitas tenaga kerja di bidang pertanian saat ini tergolong rendah. Hal in terefleksikan dari kondisi penyerapan tenaga kerja sektor pertanian yang tidak sebanding dengan produk domestik bruto (PDB) yang disumbangkan 11,14% pada Triwulan II tahun 2015 (data BPS, Distribusi PDB Seri 2010 Triwulanan Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha Pertanian, Peternakan, Perburuhan, dan Jasa Pertanian). Sementara, di sektor lain dalam hal penyerapan tenaga kerja tidak sebesar sektor pertanian. Rendahnya produktivitas tersebut disebabkan beberapa faktor antara lain tingkat pendidikan, penguasaan teknologi, kompetensi, ketersediaan sarana dan prasarana, akses pasar, dan permodalan. Sampai dengan saat ini perbandingan tenaga kerja sektor pertanian dan sektor lain, didominasi oleh para petani yang kurang memiliki keahlian (unskilled farmers), sedangkan sektor lain telah memiliki keahlian tertentu.
Periode sepuluh tahun terakhir, penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian, khususnya dalam periode 2010 – 2014 rata-rata mencapai 31,78% dari total tenaga kerja (data BPS, Angkatan Kerja per Bulan Februari 2015). Namun demikian dalam lima tahun terakhir terjadi trend penurunan penyerapan angkatan kerja di sektor pertanian hanya sekitar 35,76%, atau mengalami penurunan sebesar 4,7%. Penurunan jumlah penyerapan tenaga kerja di sektor pertanian diiringi dengan peningkatan produktivitas di sektor pertanian. Meskipun mengalami kenaikan produktivitas, namun dibandingkan dengan sektor lain, produktivitas sektor pertanian relatif masih tertinggal. Berdasarkan laporan dari BPS, subsektor yang paling tinggi produktivitasnya pada tahun 2012 adalah subsektor perikanan dan peternakan, masing-masing mencapai Rp.2,9 juta dan Rp.2,6 juta/tenaga kerja/tahun.
Kebutuhan terhadap tenaga kerja bergantung juga pada ketersediaan dan kondisi tenaga kerja yang ada. Persediaan atau penawaran tenaga kerja dapat diidentifikasi melalui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap dinamika perubahan jumlah tenaga kerja, sehingga diperlukan perencanaan tenaga kerja yang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan kompetensi yang diperlukan.
Keberhasilan pembangunan pertanian khususnya di bidang ketenagakerjaan pertanian salah satunya ditentukan oleh ketersediaan informasi yang akurat mengenai perkiraan jumlah kebutuhan (demand) dan ketersediaan (supply) tenaga kerja pertanian, kelompok umur, tingkat pendidikan, status pekerjaan, dan jenis kelamin.
4. Tenaga Kerja Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 – 2014 dinyatakan bahwa trend penurunan jumlah tenaga kerja pertanian/petani tingkat Nasional terjadi pada masa 2010 – 2014. Pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja pertanian sebanyak 38.699.043 orang yang terdiri atas laki-laki sebanyak 23.781.233 orang dan perempuan sebanyak 14.917.810 orang. Tahun 2014 menjadi 36.396.184 orang yang terdiri atas laki-laki sebanyak 22.519.115 orang (61,87%) dan perempuan sebanyak 13.877.069 orang (38,13%). Namun tidak demikian halnya dengan yang terjadi pada tahun 2011-2012. Jumlah tenaga kerja pertanian semula 36.490.617 orang pada tahun 2011 menjadi 37.120.655 pada tahun 2012, terjadi peningkatan jumlah tenaga kerja pertanian dengan tingkat pertumbuhan 1,73%.
Kontribusi di sektor pertanian pada produk domestik bruto (PDB) atas dasar harga berlaku menurun dari 15,19% menjadi 14,43% (BPS, data periode 2003-2013). Bahkan tahun 2014 menurun secara tidak signifikan sebesar 14,33%. Padahal, jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian masih tinggi, yakni 36,40 juta orang dengan komposisi tenaga kerja laki-laki lebih besar. Pertumbuhan di sektor pertanian masih di bawah sektor lainnya padahal, jumlah tenaga kerja paling banyak ada di sektor pertanian.
Jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian tercatat menurun dari tahun ke tahun. Penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian disebabkan oleh pergeseran masa panen yang dialami oleh petani. Panen bergeser dari Maret ke Mei, menyebabkan pada saat survei tenaga kerja nampak sedikit.
Rata-rata tingkat pertumbuhan sebesar -1,69%. Berdasarkan jenis kelamin, rata-rata tingkat pertumbuhan tenaga kerja pertanian laki-laki -1,33%, sedangkan yang perempuan -1,69%. Perkembangan tenaga kerja pertanian tingkat nasional bedasarkan jenis kelamin (Agustus 2010 – Agustus 2014) tervisualisasi pada Gambar 1. Terlihat bahwa Jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki mengalami peningkatan pada tahun 2012 dan 2013. Jumlah tenaga kerja pertanian perempuan hanya mengalami peningkatan pada tahun 2012. Secara umum peningkatan jumlah tenaga kerja hanya terjadi pada tahun 2012 dalam kurun waktu 2010 – 2014.
Fakta dari data tersebut di atas adalah bahwa jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki lebih banyak dari pada tenaga kerja pertanian perempuan. Wanita sebagai tenaga kerja memperoleh lapangan kerja yang terbatas dari pada pria, dan dari segi upah atau gaji yang diterima lebih rendah daripada pria. Dalam hal ini yang ingin diinterpretasikan adalah bahwa dilema wanita pekerja dari tingkat upah yang lebih rendah antara pria dan wanita. Wanita sebagai tenaga kerja ternyata memperoleh lapangan kerja yang lebih terbatas dari pria.
Kondisi tersebut juga menggambarkan bahwa pihak laki-laki cenderung mendominasi pelaksanaan program pembangunan pertanian, sejak tahap perencanaan hingga pelaksanaan. Walaupun kebijakan pembangunan pertanian bersifat netral, namun dalam implementasinya cenderung bias gender. Hal ini juga disebabkan masih kuatnya pengaruh budaya patriarkhi di kalangan masyarakat petani itu sendiri. Perjalanan sejarah pembangunan pertanian di Indonesia, sumberdaya manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan dinyatakan sebagai sumberdaya insani pembangunan pertanian. Partisipasi laki-laki dan perempuan sangat diharapkan turut serta mewujudkan kesejahteraan nasional.
5.Tenaga Kerja Berdasarkan Wilayah
Data ketenagakerjaan pertanian (petani) secara Nasional berdasarkan Survai Angkatan Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS), dari tahun 2010 – 2014, bila diperhatikan jumlah tenaga kerja pertanian secara Nasional berdasarkan wilayah, tampak bahwa tenaga kerja yang berada dan bekerja di wilayah Perdesaan lebih banyak jika dibanding dengan jumlah tenaga kerja yang bekerja di wilayah perkotaan.
Pada tahun 2010 jumlah tenaga kerja sebanyak 38.699.043 orang, yang berada dan bekerja di wilayah perkotaan sebanyak 3.635.547 orang dan di perdesaan sebanyak 35.063.496 orang. Tahun 2014 jumlah tenaga kerja pertanian menurun menjadi 36.396.184 orang yang berada di wilayah perkotaan sebanyak 5.185.862 orang dan di perdesaan sebanyak 31.210.322 orang.
Berdasarkan tabel di atas, memperlihatkan bahwa tenaga kerja pertanian secara nasional cenderung mengalami penurunan rata-rata sebesar -1.49%. Jumlah tenaga kerja di perkotaan mengalami peningkatan dengan pertumbuhan rata-rata sebesar 10.95% dan tenaga kerja di perdesaan mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata sebesar -2.74%.
Perkembangan tenaga kerja pada tahun 2010 – 2011 terjadi penurunan jumlah tenaga kerja sebesar -5.71%, namun pada tahun 2011 – 2012 terjadi peningkatan sebesar 1.73%. Sedangkan pada tahun 2012 sd 2014 jumlah tenaga kerja mengalami penurunan yaitu -1.10% dan -0.86%.
Dari perkembangan data, jumlah tenaga kerja di perkotaan mengalami peningkatan dan penurunan selama kurun waktu 5 tahun ini dapat disebabkan karena meningkatnya minat tenaga kerja yang bekerja di sektor pertanian. Sedangkan jumlah tenaga kerja di perdesaan mengalami penurunan, hal ini diasumsikan karena perkembangan teknologi yang memicu tenaga kerja di perdesaan migrasi untuk mengadu nasib di perkotaan.
6.Tenaga Kerja Berdasarkan Kelompok Umur
Data ketenagakerjaan pertanian/petani menurut kelompok umur secara Nasional berdasarkan Survai Angkatan Tenaga Kerja Nasional (SAKERNAS) dalam kurun waktu tahun 2010 – 2014, bahwa jumlah tenaga kerja pertanian selama periode tersebut mengalami sedikit perubahan. Jumlah tenaga kerja pertanian tahun 2010 sebanyak 23.781.233 orang, dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 4.629.945 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 25.380.341 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 8.688.757 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 36.396.184 orang dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 3.789.122 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 23.487.918 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 9.119.144 orang. Dalam kurun waktu 2010 – 2014 tenaga kerja pertanian mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata 1,49%. Data jumlah tenaga kerja pertanian secara Nasional dalam kurun waktu 2010 – 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tenaga kerja pertanian (laki-laki + perempuan) semua kelompok umur mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi pada kelompok umur 15 – 24 tahun dengan penurunan rata-rata pertumbuhan 4,77%, diikuti kelompok umur 25-54 tahun sebesar 1,89 dan pada >55 tahun mengalami peningkatan sebesar 1,34%.
Sebaran tenaga kerja pertanian berdasarkan kelompok umur memperlihatkan bahwa sebagian besar berada pada kelompok umur 25-54 tahun (65,58%), kemudian kelompok umur > 55 tahun (22,45%) dan kelompok umur 15-24 tahun (11,96%). Menurut Iwan Setiawan (2007), mengatakan bahwa pada masa yang akan datang dikhawatirkan akan kekurangan tenaga kerja pertanian. Tren aging agriculture sudah mulai terlihat pada sektor pertanian yaitu tenaga kerjanya sudah menunjukkan komposisi penduduk usia lanjut yang semakin besar. Kondisi ini sudah banyak terjadi seperti yang dikemukakan oleh Collier (1996) dalam Iwan Setiawan (2007) berdasarkan penelitian di pedesaan Jawa yaitu” Suatu perubahan utama dalam pertanian Jawa berupa kekurangan buruh tani yang lebih besar, bahkan di daerah berpenduduk sangat padat. Kekurangan ini terjadi karena tarikan orang ke pekerjaan lebih menarik di daerah urban dan perasaan orang-orang muda yang berpendidikan menengah yang tidak tertarik bekerja sebagai petani”. Kondisi tersebut sudah terasa pada masa sekarang, dimana untuk mendapatkan tenaga kerja (buruh) di sektor pertanian sudah sulit mendapatkannya.
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin Jumlah tenaga kerja pertanian laki-laki tahun 2010 sebanyak 23.781.233 orang, dengan rincian kelompok umur 15 – 24 tahun sebanyak 3.216.045 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 14.985.908 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 5.579.280 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 22.519.115 orang dengan rincian kelompok umur 15 – 24 tahun sebanyak 2.664.750 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 13.926.866 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 5.927.499 orang. Dalam kurun waktu 2010-2014 tenaga kerja pertanian (laki-laki) mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata 1,33%.
Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa tenaga kerja pertanian (laki-laki) semua kelompok umur mengalami penurunan, penurunan terbesar terjadi pada kelompok umur 15 – 24 tahun dengan penurunan rata-rata pertumbuhan 4,50%, diikuti kelompok umur 25-54 tahun sebesar 1,79% dan kelompok >55 tahun mengalami peningkatan rata 0,55% per tahun. Apabila dilihat dari persentase jumlah tenaga kerja umur 15-24 tahun dan umur > 55 tahun semakin berkurang, sedangkan persentase jumlah kelompok umur 25-55 tahun semakin meningkat, tetapi jika dilihat dari jumlahnya kelompok umur ini mengalami penurunan.
Sedangkan jumlah tenaga kerja pertanian (perempuan) tahun 2010 sebanyak 14.917.810 orang, dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 1.413.900 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 10.394.433 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 3.109.477 orang. Pada tahun 2014 menurun menjadi 13.877.069 orang dengan rincian kelompok umur 15-24 tahun sebanyak 1.124.372 orang, 25 – 54 tahun sebanyak 9.561.052 orang dan kelompok umur >55 tahun sebanyak 3.191.645 orang. Dalam kurun waktu 2010-2014 tenaga kerja pertanian mengalami penurunan rata-rata 1,69%. Data jumlah tenaga kerja pertanian jenis kelamin perempuan dalam kurun waktu 2010 – 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.
Tenaga kerja pertanian (perempuan) kelompok umur 15 – 24 tahun dan kelompok umur 25-24 tahun mengalami rata-rata penurunan pertumbuhan 5,35% dan 1,96% per tahun, sedangkan pada kelompok umur >55 tahun mengalami peningkatan masing-masing sebesar 0,88% per tahun
Apabila dilihat dari persentase jumlah tenaga kerja umur 15-24 tahun dan kelompok umur 25-55 tahun semakin berkurang, sedangkan kelompok umur > 55 tahun baik mengalami peningkatan yang relatif kecil.
6. Tenaga Kerja Berdasarkan Pendidikan
Data ketenagakerjaan pertanian/petani berdasarkan jenis kelamin secara Nasional berdasarkan hasil Survai Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 2010 – 2014 menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah dari tahun ke tahun. Jumlah tenaga kerja pertanian tahun 2010 sebanyak 38.699.043 orang, dengan rincian tingkat Pendidikan Tidak/Belum Pernah Sekolah 3.720.759 orang (9.6%), Tidak/Belum Tamat SD 10.280.728 orang (26.6%), pendidikan SD 14.884.127 orang (38.5%), SLTP 6.281.776 orang (16.2%), SLTA 3.311.859 orang (8.6%), dan Perguruan Tinggi 219.794 orang (0.60 %). Tahun 2014 sebanyak 36.396.184 orang, dengan rincian tingkat Pendidikan Tidak/Belum Pernah Sekolah 3.602.295 orang (9.9%), Tidak/Belum Tamat SD 8.537.959 orang (23.5%), pendidikan SD 14.687.343 orang (40.4%), SLTP 5.604.088 orang (15.4%), SLTA 3.675.549 orang (10.1%), dan Perguruan Tinggi 288.950 orang (0.80 %). Jumlah tenaga kerja pertanian berdasarkan tingkat pendidikan tahun 2010-2014 terlihat pada tabel berikut.
Secara umum, jumlah tenaga kerja pertanian menurut tingkat pendidikan tahun 2010 – 2014 mengalami penurunan pertumbuhan rata-rata sebesar -1.49 %. Penurunan terjadi pada tenaga kerja dengan tingkat pendidikan Tdk/Blm Pernah Sekolah (-0.40%), Tdk/Blm Tamat SD (-4.42%), SD (-0.28%), dan Tamat SLTP (-2.62%). Sedangkan tingkat pendidikan Tamat SLTA (2.72%) dan tingkat pendidikan Perguruan Tinggi (9.25%) mengalami peningkatan jumlah tenaga kerja.
Hal ini menunjukkan bahwa minat untuk bekerja di sektor pertanian dengan tingkat pendidikan tinggi cenderung meningkat. Tenaga Kerja Pertanian menurut wilayah Tahun 2014.
7. Tenaga kerja Berdasarkan Provinsi
Sebagai mana dikemukanan pada bab sebelumnya, bahwa perkembangan tenaga kerja pertanian selama kurun waktu 5 tahun yaitu tahun 2010 – 2014, mengalami penurunan yang semula pada tahun 2010 sebanyak 38.699.043 orang dan pada tahun 2014 sebanyak 36.396.184 orang, dengan penurunan rata-rata sebanyak 1,49 % per tahun. Namun demikian apabila dilihat dari perkembangan jumlah tenaga kerja berdasarkan provinsi sangat bervariasi perkembangannya.
Berdasarkan tabel tersebut, menunjukkan bahwa perkembangan tenaga kerja yang paling tinggi terdapat di Provinsi DKI Jakarta, disusul oleh provinsi Riau dan Gorontalo masing-masing 13.96%, 4,20% dan 2,80% per tahun. Sedangkan yang perkembanganya menurun paling besar terdapat di provinsi Bali, disusul oleh provinsi Banten dan Lampung masing-masing 5,17%, 3,60% dan 3,59% per tahun.